About

Selamat datang di situs website kami, semoga apa yang ada di sini dapat bermanfaat dan dijadikan referensi untuk sekolah/madrasah Bapak/Ibu Guru dan barokah. Amiiiin

Monday, 20 August 2018

Musik, Nyanyi dan Menari itu Haram ?

MUSIK, NYANYI, DAN MENARI ITU HARAM?...
Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'it tabi'in(serta 4 madhab) saja melakukan...😊

1. Sikap para Sahabat
ABDULLAH BIN AUF, dia berkata: “Aku menghampiri pintu rumah Umar bin Al Khathab, kemudian aku mendengar ia sedang bernyanyi, aku minta izin masuk ke rumahnya, beliau berkata, “Apakah engkau mendengar apa yang aku nyanyikan tadi?, “ Aku menjawab, “Ya.” Beliau berkata:” Sesungguhnya aku, apabila sedang kesepian, aku juga sering bersenandung seperti orang lain juga.” (Tafsir al Alusi, 21/71)

KHAWAT BIN JUBAIR, dia berkata: “Aku pergi haji bersama Umar bin al Khathab, kami berangkat dengan berkendaraan bersama Abu Ubaidah bin al Jarrah, Abdurrahman bin Auf, tiba-tiba manusia berkata, “Nyanyikanlah buat kami syairnya dhirar, “ lalu Umar menanggapi, “Biarkanlah mereka wahai Abu Abdillah”, maka mereka pun bernyanyi sesuka seleranya –yaitu syair dhirar. Aku pun terus menyanyikan lagu buat mereka, sampai waktu sahur tiba, dan Umar berkata, “Sudahilah nyanyianmu wahai Khawat, karena kita sudah hampir waktu sahur.” (Al Ishabah, I/457,Al Baihaqi, V/69)

Riwayat ini, nampak bukan hanya Umar saja yang mendengarkan nyanyian, tetapi Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Saad bin Abi Waqqash, dan kedunya merupakan termasuk sahabat yang mubasysyiruna bil jannah (diberitakan akan masuk surga).

Imam Ibnu Thahir meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari Ayahnya, bahwa Umar ra. lewat di depan orang yang sedang bernyanyi, kemudian beliau berkata: “Nyanyian adalah bekal bagi musafir.” (Muhammad bin Thahir al Maqdisy, hal. 42)

Diterima dari Yahya bin Abdurrahman, dia berkata, “Kami berhaji bersama Umar dalam haji Akbar, hingga sampai di suatu tempat bernama Rauha’, lalu Ribah bin al Mu’tarif yang terkenal merdu suaranya dalam menyanyikan lagu Arab Badui diminta oleh orang-orang: “Perdengarkanlah suaramu kepada kami dan menarilah,” Dia menjawab: Aku harus jauh karena malu terhadap Umar.” Kemudian orang-orang meminta izin kepada Umar bin Khathab, dan berkata: “Kami minta kepada Ribah untuk menyanyikan lagu dan menari buat kami selama istirahat diperjalanan, tetpi dia tidak mau tanpa seizinmu.” Maka Umar berkata kepada Ribah; “Wahai Ribah bernyanyi dan menarilah untuk mereka, tetapi jika sudah waktu sahur, hendaknya berhentilah.”(An Nihayah, 190/4)

Dan Ribah membiarkan mereka mendengarkan syair Dhirar bin Khatthab, lalu ribah meninggikan suaranya (‘uqayrah) dan terus bernyanyi padahal mereka semua sedang ihram!” (Ibnu Thahir, hal. 41-42)

Az Zubair bin Bakkar menceritakan, bahwa sayidina Umar ra. lewat dihadapan Ribah bin al Mu’tarif, lalu berkata kepadanya, “Ada apa ini?”, lalu Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Suatu hal yang biasa, sekedar untuk mempersingkat perjalanan kita,” Kemudian Umar berkata, “Kalau begitu bernyanyilah dengan syairnya Dhirar bin al Khatthab.( Sunanul Kubra, 10/224)

Sikap Utsman bin Affan ra.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hasan al Mawardi mengatakan “Bahwa Utsman bin Affan memiliki dua jariyah yang sering mendendangkan nyanyian untuknya, apabila datang waktu Sahur, beliau berkata kepada keduanya: “Berhentilah, sekarang sudah waktunya istighfar.” (Al ittihaf as sadah al muttaqin, 7/567)

Sikap Abdullah bin Ja’far ra.
Abdullah bin Ja’far terkenal sebagai sahabat nabi yang suka mendengarkan nyanyian dengan mengunakan musik. Al ‘Allamah Kamaluddin Abul fadhl Ja’far bin Tsa’lab al Adfawy mengatakan dalam al imta’: Adalah Abdullah bin ja’far bin Abi Thalib, dia cukup terkenal dalam hal mendengarkan nyanyian dan lagu. Banyak para ahli fiqih, huffazh, dan ahli tarikh yang menimba ilmu darinya.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau berpandangan bahwa dalam nyanyian itu tidak ada masalah apapun.” (Al Isti’ab, 2/276)

Abdullah bin ja’far pernah bermalam di rumah Mu’awiyah. Ia sangat dihormati luar biasa oleh Mu’awiyah, sampai isteri Mu’awiyah jengkel. Ketika datang malam, Abdullah bin Ja’far bernyanyi hingga suaranya terdengar ke luar kamar. Berkatalah isteri Mu’awiyah: “Apakah engkau dengar sesuatu dari kamar orang yang sangat kau hormati, sekan ia daging dan darahmu?” lalu Mu’awiyah mendengarkannya hingga ia meninggalkan Abdullah bin Ja’far. Pada akhir malam Mu’awiyah mendengar bacaan Al Quran dari Abdullah bin Ja’far, lalu ia mendatanginya dan berkata: “Perdengarkanlah kepadaku apa yang engau dendangkan semalam.” (Ibid)
Az Zubeir bin Bakr menceritakan bahwa Abdullah bin ja’far sering ke kedai Manzil Jamilah, sebuah kedai yang terkenal pada masa sahabat, di dalamnya sering diperdengarkan nyanyian dari seorang penyanyi. (Ihya’, 7/566)

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar-nya berkata: “Penduduk Madinah dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan ulama Ahli Zhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat membolehkan nyanyian. Meskipun dengan ‘Aud dan seruling. Abu Manshur al Baghdadi Asy Syafi’i menceritakan dalam As Sima’ bahwa Abdullah bin Ja’far tidak menganggap terlarang masalah nyanyian, bahkan ia membuat lagu untuk budak-budak perempuannya, serta mendengarkan nyanyian mereka dengan menggunakan alat musiknya, Ini terjadi pada masa kekhalifahan Ali radhiallahu ‘anhu .”

Sikap Abdullah bin Zubeir ra.
Dia adalah anak dari Zubeir bin Awwam ra. dan Asma’ binti Abu Bakar. Ia wafat di tangan gubernur zalim Al Hajjaj pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 73H. Banyak manusia meriwayatkan hadits darinya. Imam Ibnu Daqiq al Id meriwayatkan dalam Iqtinash Sawanih dengan sanadnya dari Wahhab bin Sannan, di berkata: “Aku mendengar Abdullah bin Zubeir bersenandung dengan nyanyian.”
Imam Haramain (dalam An Nihayah) dan Ibnu Abid Dunya mengatakan, menurut perkataan yang bisa dipercaya dari para sejarawan, mereka menukil bahwa Abdullah bin Zubeir memiliki beberapa ‘Aud (gitar zaman dulu). Ketika Ibnu Umar masuk ke rumahnya dan melihat ‘Aud itu, ia bertanya: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah?” lalu Abdullah bin Zubeir memberikan ‘Aud itu kepada Ibnu Umar, dan dia mengamatinya. Lalu bertanya: “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Abdullah bin Zubeir menjawab, “Ini timbangan untuk akal.”

Al ‘Allamah Abu Umar al Andalusi meriwayatkan dalam Al ‘Aqd , bahwa Abdullah bin Umar pernah datang ke rumah Abdullah bin Ja’far, lalu di dapatinya seorang budak perempuan milik Abdullah bin Ja’far yang di dalam kamarnya terdapat alat musik ‘Aud (kecapi). Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah Anda menganggapnya terlarang?” Ibnu Umar menjawab: “Tidak apa-apa.”

Sikap Mu’awiyah ra. dan Amr bin al ‘Ash ra.
Dalam Al Hawy, diceritakan oleh Al Mawardi, bahwa Mu’awiyah dan Amr bin al Ash sering mengunjungi Abdullah bin Ja’far, yang dilihatnya sering sibuk dengan nyanyian, dan mereka menasihatinya. Mereka berdua pernah datang untuk bertanya kepada Abdullah bin Ja’far, ketika mereka berdua masuk ke rumah Ibnu Ja’far, semua jariyah terdiam. Berkatalah Mu’awiyah kepada mereka, “Saya harap kalian kembalilah bernyanyi seperti tadi.” Maka, Jariyah-jariyah kembali bernyanyi untuk Mu’awiyah, terlihat Mu’awiyah menggerak-gerakan kakinya di kursi. Lalu, Amr bin al Ash bertanya, “Apa yang sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab: “Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia sedang bernyanyi.”
Imam Ibnu Qutaybah juga meriwayatkan bahwa Mu’awiyah pernah menemani anaknya –Yazid- yang sedang memainkan ‘Aud. Mu’awiyah menemaninya dengan memainkan tharb (rebab-alat musik pukul). Masih banyak lagi kisah tentang masalah ini dari Mu’awiyah ra.

Sikap Usamah bin Zaid ra.
Dari Abdullah bin al Harits bin Naufal, beliau berkata, “Aku melihat Usamah bin Zaid sedang duduk di masjid dengan mengangkat sebelah kakinya di atas yang lainnya, ia sedikit meninggikan suaranya bersenandung.” Abdullah bin Al Harits berkata, “Saya kira beliau sedang bersenandung dengan nyanyian syair An Nashab.” (Riwayat Abdurrazzaq, 11/5, Al Atsar, 91739. Al Baihaqi, 10/224)

Sikap Abdullah bin Al Arqam ra.
Dalam As Sunan-nya Imam al Baihaqi, meriwayatkan dari Az Zuhri dari Ubaid bin Abdillah bin Utbah: “Sesungguhnya Ayahnya menceritakan kepadanya bahwa beliau pernah mendengar Abdullah bin al Arqam meninggikan suaranya dan beliau bersenandung.” Abdullah bin Utbah berkata: “Demi Allah, setahu saya, tidak pernah saya melihat dan menemukan orang yang paling takut kepada Allah selain Abdullah bin al Arqam.”(As Sunan al Kubra, 10/225)

Sikap Imran bin Hushain ra.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad, dari Mathraf bin Abdullah, ia berkata: Aku ditemani Imran dari Kuffah ke Bashrah, sedikit-dikit ia bersenandung dengan melantunkan syair.(Adabul Mufrad, 124)

Abdur Razzaq meriwayatkan, sebenarnya dari Bashrah ke Makkah beliau melantunkan nasyid setiap hari, kemudian ia berkata kepadaku: “Sesungguhnya syair itu sama dengan ucapan, dan setiap ucapan ada yang baik dan ada juga yang batil.” (Abdurrazzaq, XI/5, Al Atsar no. 19740)

Sikap Bilal bin Rabah ra.
Imam Abdur Razzaq meriwayatkan, juga Imam Baihaqi dengan sanadnya : Abdullah bin az Zubair berkata sambil bersandar: “Wahai Bilal bernyanyilah!” Kemudian seorang bertanya: “Bernyanyi?” Kemudian dia duduk dengan tegak, dan berkata: “Tiada seorang pun Muhajirin yang belum pernah mendengar Bilal menyanyikan An Nashab?”

Sikap Hasaan bin Tsabit ra.
Penulis kitab al Aghani meriwayatkan dalam al Kamil dan juga yang lainnya, dari Kharijah bin Zaid, dia mengatakan kami diundang dalam sebuah pesta pernikahan, di sana hadir pula Hassan bin Tsabit, saat itu sudah buta, ia bersama anaknya –Abdurahman. Setelah selesai makan, tuan rumah mendatangkan dua jariyah penyanyi, Rab’ah dan ‘Izzah al Maila’. Keduanya mengambil alat musik lalu menabuhnya dengan merdu dan indah serta menyanyilan syairnya Hassan bin Tsabit.
Ketika Hassan mendengar syair tersebut ia berkata: “Sungguh kini aku bisa melihat dan mendengar.” Matanya mulai berkaca-kaca. Ketika dua jariyah itu berhenti menyanyi, air matanya mengering, ketika bernyanyi, ia menangis lagi. Aku melihat Abdur Rahman mengahmpiri dua jariyah tersebut dan berkata, “Teruslah nyanyikan syair ini.”(Al Aghani, 17/176-179)

Sikap sahabat-sahabat yang lain
Sahabat lain yang mendengarkan nyanyian di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, kisahnya ada dalam Ash Shahihain. Abdullah bin Umar dalam riwayat Ibnu Hazm dan Ibnu Thahir, Barra bin Malik yang diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Nu’aim dan ibnu Daqiq al Ied, An Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh ahli lagu dan al Aqd serta Syarhul Miqna, Abdullah bin Amr yang diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr dalam kitab al Mawfiqiyyat, juga ‘Aisyah, banyak hadits-hadits yang menceritakan bahwa beliau suka mendengarkan nyanyian. (Al ittihaf, VII/568)

2. Sebagian Tabi’in membolehkan Bernyanyi dan Mendengarkannya
Mereka adalah murid-murid para sahabat nabi, merekalah pengisi zaman khairul qurun (sebaik-baiknya masa) yang kedua setelah masa sahabat nabi.
Sikap Said bin Al Musayyib rah.
Ia adalah tabi’in utama, setelah Uwais al Qarny. Sebagian lagi mengatakan ia adalah junjungan para tabi’in. Ia termasuk tujuh ahli fiqih (Fuqaha as Sab’ah) Madinah pada zamannya. Ternyata beliaupun pernah mendengarkan nyanyian.
Dari Ibrahim bin Muhammad al Abbas al Muthallibi, bahwa Said bin al Musayyib pernah melewati suatu tempat di Makkah, dan beliau mendengar Al Akhdhar sedang menyanyikan sebuah syair di Darul ‘Ash bin Wail.
Kemudian Said menepuk Nu’man dengan kakinya. Kemudian Nu’man berkata: “Ini, Demi Allah! Hanya untuk didengarkan dan dinikmati saja.” Lalu, Said bin al Musayyib menjawab dengan menyanyikan syair. Kisah ini juga dikutip oleh Ibnul Jauzy dalam
Talbisul Iblis, dan Ath Thabrani serta As Sam’ani dalam Awail adz Dzail.
Sikap Salim bin Abdullah rah.
Imam Ibnu Thahir mengatakan, dengan sanadnya yang sampai pada Abdul Aziz bin Abdul Lathif dia berkata, ayahku mengatakan: “Aku pernah masuk ke rumah Salim bin Abdullah bin Umar. Di sana ada Asy’ab yang sedang menyanyikan syair, lalu Salim berkata kepada Asy’ab: “Ulangi lagi untukku.” Maka Asy’ab melanjutkan sampai selesai.
Kemudian Salim berkata: “Demi Allah, kalaulah engkau tidak bergantian mengisahkan syair ini, niscaya akan aku beri hadiah untukmu.”

Sikap Qadhi Syuraih rah.
Dinukil dari Abu Manshur al Baghdadi dalam As Sima’ menceritakan tentang Qadhi Syuraih, bahwa beliau menyusun syair, mendendangkan dan mendengarkannya sendiri dengan penuh penghayatan.

Sikap Kharijah bin Zaid rah.
Tentang kisahnya mendengarkan musik sudah kami sebutkan dalam Sikap Hassan bin Tsabit ra diatas.

Sikap Said bin Jubair
Al hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir menceritakan dengan sanadnya yang sampai kepada al Ashmu’i tentang Al Qadhi Said bin Jubair; Isteri Amr bin Al Asham menceritakan: “Kami melewati sebuah tempat dan di samping kami ada Said bin Jubair dan di antara kami ada seorang jariyah yang bernyanyi dengan memukul duff, dan mendendangkan syair.

Sikap Amir Asy Sya’bi rah.
Dalam Shafwat at Tashawwuf
disebutkan, Amr bin Abi Zaidah menceritakan: “Asy Sya’bi lewat di depan jariyahnya yang sedang bernyanyi, Asy Sya’bi menyenanginya, namun jariyah itu diam ketika melihat Amir Asy Sya’bi. Lalu Asy Sya’bi berkata: “Tinggikan ujung lagu itu.”

Sikap Ibnu Abi ‘Atiq rah.
Dalam Al Mawfiqiyat Thayyibah, disebutkan bahwa Ibnu Abi ‘Atiq pernah masuk ke rumah Jariyah di kota Madinah, yang mendendangkan nyanyian kepada Ibnu Suraij.
Kemudian Ibnu Abi ‘Atiq meminta jariyah itu mengulangi nyanyiannya, tetapi jariyah tersebut menolaknya, sehingga Ibnu Abi ‘Atiq keluar rumah karena kesal. Kisah ini sangat tenar dan sanadnya kuat.

Sikap ‘Atha bin Abi Rabah rah.
Imam al Baihaqi mengatakan, dengan sanad sampai Ibnu Juraij, aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang masalah syair yang diiringi musik, beliau menjawab: “Aku berpendapat hal itu tidak mengapa, selama tidak terdapat hal yang buruk di dalamnya.”

Muhammad bin Ishaq al Faqihy dalam Tarikh Makkah, menceritakan bahwa ketika Imam Atha’ mengkhitan anaknya, di dalamnya ada nyanyian dua orang pemuda yakni al ‘Aridh dan Ibnu Suraij. ‘Atha menyukai suara Ibnu Suraij sehingga ia berkata: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang lembut suaranya yaitu Ibnu Suraij.”

Sikap Umar bin Abdul Aziz rah.
Ibnu Qutaibah meriwayatkan dari Ishaq tentang Umar bin Abdul Aziz. Ishaq ditanya tentang nyanyian menurut Umar bin Abdul Aziz. Dia mengatakan: “Ketika menjadi khalifah tidak pernah sama sekali mendengarkan nyanyian, sedangkan ketika masih menjadi pangeran beliau menyediakan waktu khusus untuk mendengar nyanyian tapi yang baik-baik saja. Dia sendiri yang mendendangkan dan memainkan alat musiknya. Di kamarnya ada tharb (gendang), kadang-kadang ia memukul tharb itu dengan kakinya.”

Dalam Al Mawfiqiyat, Zubair bin Bakr mengatakan saya pernah mendengar paman mengatakan, “Saya pernah bertemu orang-orang Madinah yang menyanyikan lagu yang disandarkan sebagai gubahan Umar bin Abdul Aziz.”
Al Adfawi menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz, sebelum menjadi khalifah, suk mendengarkan budak-budaknya bernyanyi.

Sikap Sa’ad bin Ibrahim rah.
Ibnu Hazm menceritakan tentang pendapat Sa’ad bin Ibrahim, bahwa ia termasuk tabi’in yang membolehkan nyanyian.

3 . Para Imam generasi tabi’ut tabi’in
juga membolehkan nyanyian

Sikap Ibnu Juraij rah.
Dalam At tadzkirah al Hamduniyah diceritakan oleh Daud al Makky, bahwa Ibnu Juraij sedang mengisi ta’lim, dan di dalamnya ada rombongan dari Irak di antaranya ada Abdullah bin Mubarak. Kemudian ia menghadap ke jamaah dari Irak, “Apakah kalian tidak suka nyanyian?” mereka menjawab: “sesungguhnya di Irak kami tidak menyukai nyanyian.” Beliau bertanya, “Kalau bersenandung bagaimana?” mereka menjawab: “Bersenandung tidak masalah bagi kami.” Ibnu Juraij menimpali, “lalu, apa bedanya bersenandung dengan bernyanyi?”
Ar rukhshah fis Sima’: Ibnu Juraij bercerita, bahwa beliau pernah bermaksud pergi Jumat dan melewati sebuah rumah seorang penyanyi, kemudian ia singgah dan pemilik rumah keluar, dan duduk bersamanya di pinggir jalan. Ibnu Juraij berkata: “Bernyanyilah.” Maka menyanyialah ia, sampai Ibnu juraij mengalir air matanya hingga membasahi janggutnya, karena syairnya menceritakan kenikmatan surga.

Sikap Muhammad bin Sirin rah.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun (murid Ibnu Sirin). Beliau berkata: Pada keluarga Muhammad bin Sirin terdapat kumpulan malak (para suami) yang berkumpul-kumpul di saat senggang. Di saat Mumammad bin Sirin pulang ke rumah ia berkata kepada isterinya: “Di mana makananmu?” Ibnu ‘Aun berkata: “Yang dimaksud dengan mkanan adalah duff (rebana).” (Al Mushannaf, 4/193)

Sikap Imam Abu Hanifah rah.
Dalam Ibnu Abdi Rabbah dalam al ‘Aqd menyebutkan, Abu Hanifah berkata: “Adapun aku cukup menyukainya sebagai hutang yang mesti aku lunasi, dan aku berjanji pada pada diriku sendiri, bila dilantunkan lagu, aku akan mendengarkannya.”

Ibnu Qutaibah juga menceritakan tentang Abu Hanifah yang sering mendengarkan nyanyian dan musik tetangganya yang bernama ‘Amr. Hingga suatu hari ‘Amr dipenjara, mendengar dia dipenjara, Abu Hanifah pergi menemui khalifah meminta pembebasan ‘Amr.

Sikap Imam Malik rah.
Dalam Al Imta’ bi Ahkamis Sima’ disebutkan khalifah Harun ar Rasyid pernah bertanya kepada Ibrahim bin Said, “Apakah Anda tahu sikap Imam Malik terhadap musik?” Ibrahim menjawab: “Demi Allah, tidak! Tetapi ayahku pernah memberitahu bahwa dia pernah berkumpul pada undangan Bani Yarbu’. Saat itu mereka termasuk kaum yang lebih dalam pengetahuannya, sedangkan Malik paling sedikit ilmu dan kemampuannya, mereka membawa duff sambil bernyanyi dan bersenda gurau, sedangkan Malik hanya memegang duff. Beliau menyanyikan sebuah lagu untuk mereka.

Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal bahwa madzhab Maliki memperbolehkan nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik. Ustadz Abu Manshur al Faurani meriwayatkan dari Imam Malik kebolehan menggunakan ‘ Aud . Berkata Ibnu Thahir bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Madinah tentang bolehnya memainkan ‘Aud/kecapi. Ibnu Nahwi dalam al Umdah menyatakan bahwa, Ibnu Thahir berkata, “Pendapat itu sudah menjadi ijma’ penduduk Madinah.”

Sikap Imam Asy Syafi’I rah.
Imam al Ghazali menerangkan dalam Al Ihya’, “pada dasarya madzhab ini tidak mengharamkan nyanyian.” Yunus bin Abdil A’la mengatakan, Aku bertanya kepada Imam Asy Syafi’i tentang dibolehkannya orang Madinah mendengarkan nyanyian dan musik, maka Imam Asy Syafi’i menjawab: “Sama sekali aku tidak tahu, ulama Hijaz mana yang melarang mendengarkan nyanyian kecuali yang jelas-jelas diharamkan, adapun bersenandung, Al athlal dan Al Marabi; itu adalah termasuk memperindah suara dengan dibarengi syair atau sajak, itu boleh-boleh saja.”
Al Mawardi meriwayatkan tentang kebolehan memainkan ‘Aud oleh sebagian ulama syafi’iyyah. Bahkan Ibnu Nahwi mengatakan jumhur ulama syafi’iyyah menyatakan kebolehannya. Hal ini juga dikatakan oleh Abu ishaq Asy Syairazi Asy Syafi’i.

Imam Ahmad bin Hambal rah.
Dalam al Fushul disebutkan: Ada riwayat yang shahih bahwa Imam Ahmad pernah mendengarkan nyanyian dari anaknya yang bernama shalih. Dia hanya membenci nyanyian yang diikuti sesuatu yang dibenci.
Pensyarah al Muqaffai mengatakan: diriwayatkan dari Ahmad, bahwa beliau mendengar sebuah ungkapan syair dari anaknya dan dia tidak mengecamnya. Anaknya bertanya kepadanya, “Wahai Ayah, bukankah engkau mengingkari dan membencinya?”. Imam Ahmad menjawab: “itu dituduhkan sebagai pendapatku, maka mereka melakukan sebuah kemungkaran bersamanya.”

Imam Sufyan bin ‘Uyainah rah.
Zubair bin Bakr bercerita dalam Al Mawfiqiyat , ketika beliau mengunjungi Ibnu jami’ di Makkah, Ibnu jami memberi mereka banyak harta, Sufyan bertanya, “Dengan apa kita membalas harta sebanyak ini?” mereka menjawab, “Dengan nyanyian saja.”

0 komentar:

Post a Comment

Featured Post

SOAL PRAKARYA KELAS 11

  1 . Berikut merupakn bahan yang termasuk jenis bahan limbah organic, kecuali …. a. kerang                  b. batok kelapa             ...